Minggu, 27 Mei 2012

BARAT YANG TETAP TIMUR




Malam yang indah, aku duduk di balkon atas L25, seperti biasa. Di atas sana, bintang – bintang bertaburan, menghiasi indahnya malam. Terpesona  ku pada satu bintang yang berpijar, indah sekali. Membawa lamunanku melayang, membayangkan peristiwa yang telah lama terjadi....

1930....

Seorang remaja muda usia, berkulit sawo matang, kurus, berwajah jawa, mendarat dengan mulus di tempat yang baru. Tempat yang baru pertama kali dia jejaki. Tempat yang notabene adalah negeri asal orang – orang yang menjajah Tanah Airnya. Kenapa bisa dia di sana?? Siapa gerangan pemuda itu??

Dorodjatun namanya, 18 tahun. Dia dikirim ayahnya untuk belajar hingga ke negeri Belanda, untuk mempelajari sains dan ilmu Barat yang telah terkenal keunggulannya. Namun dia tidak sendirian, karena memang sudah terkenal banyak orang – orang yang sebangsa dengan dirinya menuntut ilmu hingga ke negeri itu.

Dorodjatun, atau dikenal juga dengan panggilan Henkie, lahir di Yogyakarta pada tanggal 12 April 1912. Sejak kecil telah ditanamkan padanya bahwa pendidikan itu penting untuk masa depannya. Sejak kecil, ia telah dibiasakan untuk hidup mandiri. Bahkan pada usia 4 tahun, ia telah dititipkan oleh keluarganya kepada keluarga Belanda, pada keluarga Mulder. Ya, pada usia taman kanak – kanak, Dorodjatun telah hidup in de kost.

Pendidikan dasarnya ditempuh di sekolah Belanda Eerste Europese Lagere School. Dorodjatun adalah anak yang aktif, bahkan mungkin hiperaktif. Di sekolah, dia sering di strap¸ karena ketahuan berkelahi. Namun, bukan itu yang membuat Dorodjatun menonjol. Yang membuatnya lain dari pada yang lain adalah aktifitasnya diberbagai macam kegiatan. Mulai dari Gerakan Kepanduan Nederlandse Indische Padvinders Club dengan berbagai kegiatannya seperti memasak dan berkemah, hingga bermain sepak bola. Dia menyelesaikan pendidikan dasarnya pada usia 13 tahun, untuk kemudian lanjutkan pelajarannya di Hogere Burgers School (HBS) di Semarang dan hidup menumpang pada keluarga Voskuil. Karena satu dan lain hal, akhirnya Dorodjatun dipindahkan ke HBS di Bandung dan in de kost di rumah keluarga De Boer. Dari Bandung inilah ia dikirim untuk menyelesaikan sekolah HBS nya ke HBS Harleem, Belanda.

Usia 18 tahun dan sudah melanglang buana ke negeri Belanda bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat biasanya orang Indonesia yang  belajar ke Belanda adalah tamatan dari HBS, atau calon Mahasiswa. Tetapi, tempaan pendidikan keluarga yang keras dan pengalamannya menjadi pandu membuat hari – hari Dorodjatun tetap berjalan mulus. Hingga akhirnya pada usia 22 tahun ia menamatkan HBS dan melanjutkan studinya di Rijksuniversiteit, Leiden, dengan mengambil jurusan ilmu hukum dan ekonomi di Fakultas Indologi.

Di bangku kuliah ini, kegiatan Dorodjatun semakin menumpuk, membuat dia menjadi mahasiswa aktivis. Segala bentuk kegiatan positif ia ikuti. Mulai dari Leidse Studenten Corps, Verenigde Faculteiten, Perkumpulan Minerva, hingga klub diskusi di bawah pimpinan Profesor Schrieke.

Hari – hari Dorodjatun adalah hari yang sangat sibuk, dan sangat padat. Berbagai kegiatan yang ia ikuti membuat ia semakin mengenal negeri penjajahnya. Dengan kecerdasannya ia mulai bisa merasakan dan memperbandingkan suasana serta kebijakan yang diterapkan oleh Kerajaan Belanda di negaranya sendiri dan di negara jajahan. Kelak, bekal itulah yang ia jadikan pijakan untuk berjuang di negeri asalnya. Berbekal pengetahuan mengenai penerapan kebijakan negara dan penerapan demokrasi yang dilakukan di negeri itulah, Dorodjatun akan membangun Tanah Airnya.

Pada tahun 1925 Dorodjatun berhasil menyelesaikan studinya dan meraih ijazah candidaat Indologi. Setelah itu, Dorodjatun  melanjutkan studinya untuk meraih gelar doktor di jurusan ilmu ekonomi. Namun, ternyata takdir berkata lain. Dorodjatun yang sudah sampai tahap menyusun disertasi harus menghadapi kenyataan lain. Saat itu tahun 1939, Perang Dunia II sudah mulai terasa efeknya, dengan serangan tentara Nazi pimpinan Adolf Hitler ke Polandia.

Dalam keadaan seperti itu, Dorodjatun mendapat “panggilan” pulang dari ayahnya, yang mulai sakit – sakitan. Tanpa pikir panjang, Dorodjatun memutuskan untuk pulang di bulan itu juga menumpang Kapal Dempo menuju Tanah Air. Setelah menempuh perjalanan beberapa minggu, tibalah Dorodjatun di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (Jakarta sekarang- red). Sebuah suasana yang mengharukan karena ternyata Dorodjatun disambut langsung oleh ayah dan saudara – saudaranya. Ia kemudian dibawa ke Hotel des Indes dan selama tiga hari menumpahkan segala rasa rindu bersama ayah dan saudara – saudaranya. Saat bersama di hotel itulah, Dorodjatun mengetahui bahwa ayahnya menderita sakit diabetes.

Akhirnya, Dorodjatun dan keluarganya memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta menggunakan kereta api dari Batavia. Namun, sakit yang diderita ayahnya dan fasilitas kesehatan di dalam kereta yang kurang memadai membuat kondisi sang ayah semakin memburuk. Sehari setelah sampai di Yogyakarta, sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya, dan seisi Yogyakarta pun berduka.

Seisi Yogyakarta???? Ya, ayah Dorodjatun adalah seorang yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, raja dari Kasultanan Yogyakarta. Wafatnya Sultan menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi seluruh rakyat, khususnya Dorodjatun. Masih teringat jelas dalam memorinya, tatkala ia bertatap empat mata dengan sang ayah di salah satu kamar di Hotel des Indes, dia menerima keris “Kyai Jaka Piturun” dari sang ayah. Rupanya inilah maksud dari telegram yang dikirimkan ayahnya tatkala dirinya masih berguru di negeri Belanda. Dengan diserahkannya keris pusaka itu, maka jelaslah maksud hati sang ayah, untuk menjadikan anaknya, Dorodjatun, sebagai putra mahkota.

Namun, proses pergantian kepemimpinan di Kasultanan Yogyakarta ternyata tidak semudah itu. Ada sebuah peraturan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menyebutkan bahwa setiap ada pergantian Raja harus disertai perubahan kontrak antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kasultanan Yogyakarta. Kontrak inilah yang menjadi pengganjal.  Tercatat, selama 5 bulan, dari awal November 1939 hingga Februari 1940, perundingan antara Gubernur Adam dengan Dorodjatun selalu menemui jalan buntu.

Perbedaan yang sangat kuat antara keduanya adalah mengenai jabatan patih, dewan penasihat, dan prajurit. Belanda menginginkan seorang patih adalah seorang pegawai Pemerintahan dan pegawai Kasultanan, sehingga mengemban dua loyalitas. Sedangkan Dorodjatun menginginkan patih hanyalah seorang pegawai Kasultanan, tidak lebih. Untuk dewan penasihat, Belanda menginginkan anggota dewan penasihat setengahnya ditunjuk oleh pemerintah dan setengahnya lagi ditunjuk oleh Sultan dengan persetujuan Belanda. Dorodjatun menolak dengan tegas hal itu dan bersikukuh menginginkan separuh anggota dewan penasihat adalah pilihannya sendiri tanpa campur tangan Belanda. Sedangkan untuk prajurit, Belanda menginginkan prajurit keraton adalah bagian dari tentara Hindia Belanda di bawah komando KNIL, sehingga walaupun Kasultanan menggaji mereka, tapi tidak berhak mengatur mereka. Hal yang ketiga ini jelas – jelas ditentang oleh Dorodjatun.

Lima bulan sudah kondisi deadlock  itu, tak ada satupun kata yang seiya antara kedua kubu. Hingga pada suatu saat, akhir Februari 1940, jelang maghrib. Ketika itu Dorodjatun hanya rebahan, tanpa bisa memejamkan mata, terdengarlah olehnya sebuah suara, Tole, tekena wae. Landa bakal lunga saka bumi kene. Dalam bahasa indonesia bisa diartikan seperti ini, “Nak, sudah tanda tangani saja. Belanda akan pergi dari tempat ini”. Sontak suara itu membangunkan istirahat Dorodjatun. Entah dari mana datangnya, semakin malam suara itu semakin mantap menghujam di lubuk keyakinannya.

Perundingan yang dilanjutkan pada malam hari itu tidak seperti yang lalu, hanya berlangsung sekejap, 15 menit, tanpa adu argumen yang alot. Dorodjatun hanya berujar kepada Gubernur Adam untuk menyusun kesepakatannya dan dia akan menanda tanganinya. Gubernur Adam kaget dan bingung bukan kepalang, orang yang selama lima bulan terakhir membuatnya pusing tujuh keliling tiba – tiba mengatakan suatu hal yang diluar dugaan, berkebalikan 180 derajat dengan sebelumnya.

Sesuai dengan pepatah sabdha pandhita ratu, sepisan muni tan keno wola wali, Dorodjatun tidak akan mengubah pendirian dan perkataanya. Dorodjatun menanda tangani kontrak perjanjian itu tanpa membaca terlebih dahulu, pada tanggal 12 Maret 1940. Dan pada tanggal 18 Maret 1940, di usia yang belum genap 28 tahun ( 28 tahun kurang 25 hari) Dorodjatun dinobatkan sebagai Sultan , dengan gelar NGARSO DALEM SAMPEYAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO, SENOPATI ING NGALOGO NGABDURRAKHMAN SAYIDIN PANOTOGOMO, KALIFATULLAH INGKANG JUMENENG KAPING IX ing NGAYOGYAKARTO HADININGRAT.  Upacara penobatannya sendiri diadakan pada tanggal 8 Mei 1940.

Pada upacara tersebut, Sultan mengumandangkan sebuah kalimat yang sangat menggegerkan Belanda dan rakyat. Beginilah kalimatnya, “Saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas dipundak saya adalah sulit dan berat, lebih – lebih karena perlu menyandingkan semangat Barat dengan semangat Timur agar dapat bekerja sama secara harmonis, tanpa menghilangkan karakter Timur. Sungguhpun saya sudah mengenyam pendidikan Barat, saya adalah dan tetap orang Jawa. Dengan demikian, selama tidak menghambat kemajuan, adat akan tetap menempati posisi utama dalam kehidupan keraton yang kaya dengan tradisi.”

Kalimat itu bak petir di siang bolong bagi Pemerintah Hindia Belanda, karena angan – angan untuk menjadikan Sultan sebagai “boneka” mereka dengan kontrak perjanjian yang telah ditanda tanganinya akan mendapatkan tantangan bak karang yang keras. Sedang bagi rakyat, kalimat itu mendatangkan perasaan ayem karena raja baru mereka tetap menjunjung tinggi tradisi dan adat Timur, walaupun telah mengenyam pendidikan di dunia Barat.

Dua hari sesudah acara tersebut, bisikan gaib yang didengar Dorodjatun ketika itu, benar – benar menjadi kenyataan. Belanda lari tunggang langgang meninggalkan Yogyakarta, setelah Jepang menduduki wilayahnya.


*)referensi : Sepanjang Hayat Bersama Rakyat, 2012, Kompas.

Aku, kau , dan anak - anak



Ku mendekat, dengan penuh harap
ku mengendap, dengan tanpa ucap


Di sore yang sunyi...
hanya ada kau, aku, dan segelas kopi
kita berbincang asyik sekali
Bicara tentang kau, aku, dan anak - anak kita

Kau bayangkan....
anak - anak sedang berlarian di taman
bercanda tawa dengan tiada hiraukan
hiruk pikuk jalanan

Kau lamunkan
anak - anak sedang sibuk menghitung pepohonan
dengan lucunya, tetap menghitung
meskipun sering salah hitung

Kau katakan padaku...
tentang anak - anak kita
Betapa hebat mereka
dengan segala impian dan tingkah lakunya

Kau sebutkan satu per satu nama mereka di telingaku
Fatimah, Raihan, Aisyah, dan Ahmad
kau sampaikan, satu per satu kenakalan mereka padaku
dan hanya senyum bahagia yang mengiringi saat membicarakannya


Aku, kau, dan anak - anak
sebuah impian masa depan


Kisah Pagiku



Seberkas sinar mentari
Hangatkan dunia di pagi ini
Ayam berkokok anjing pun berlari
Manusia pun mulai berjalan pagi

Awan tipis menghiasi birunya angkasa
kepak burung membelah mega
Nun jauh di sana mentari mulai tinggalkan cakrawala
Menggantikan rembulan yang turun dari singgasana

Duduk aku di atas singgasana
terdiam, terpaku
tak ada suara, pun juga tawa
sibuk ku menikmati suara merdu itu

Sejenak ku tengadahkan pandang
melihat keluarga burung berlalu lalang
Tampak nian mereka riang
berpindah ladang mencari makan


L25
23 Mei 2012 ; 06.00

Tulisan di kala Malam



Temaram, tanpa sinar
tenggelam, dalam lautan keheningan

hanya terdiam di pojokan
tanpa keluh, tiada dengkuran
hanya jemari yang menulis di atas papan
menuliskan beberapa catatan

Mungkin malam ini tidak dapat ku terpejam
banyak kata harus ku tulis dalam – dalam
tidak hanya dalam catatan
tapi juga dalam pikiran

suara motor berlalu lalang
barang sekali dalam setengah jam
tapi ku terus saja terdiam
terlarut dalam harmoni tulisan

Sunyi dan Kopi



Sunyi, aku menikmati sepi
tenang, tiada hilir mudik
dalam sunyi aku terjaga diri
mungkin sampai pagi
entahlah...

berkali ku terjebak pada sunyi
berkali pula ku terpikat pada sunyi

dalam sunyi ku dapat merasai
nikmatnya bernafas dengan hati
dalam sunyi ku dapat menjamahi
detik demi detik dengan pikir dan hati

sunyi, aku begitu cinta dengan sunyi
dalam sunyi terdapat sejuta kunci
untuk belajar jadi mandiri
dalam sunyi terdapat sejuta kali
kesempatan untuk belajar mawas diri

sunyi, dengan segelas kopi
ah, terasa nikmat sekali..

Kembang dan Bunga



Sekejap kumbang datang
menyapa sang bunga di taman
hanya satu dua patah kalimat
tapi buat bunga amat terpikat

Hingga sampai di suatu ucap
sang bunga pun berkata kepada kumbang
“Mbang, besok ke sini lagi yaa...”
si kumbang pun berujar, “ iya bung, besok aku kan kemari lagi”

pertemuan sekejap
mendatangkan sejuta harap
indahnya persaudaraan

Sebuah Catatan Tentang Masa



Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan
oke, semua orang punya itu...
Hidup ini adalah tentang belajar dari masa lalu,
menikmati masa sekarang, dan mempersiapkan masa depan

entah kenapa baru ingin nulis seperti ini...
seperti kata orang...
hasrat menulis itu kadang hilang tanpa bilang
namun juga kadang datang tak beraturan
sekonyong – konyong, semena – mena
dan tanpa ampun

Rabu, 23 Mei 2012

My Life, My Adventure : Pantai Klayar, Ratu Pantai Selatan Jawa





Ratu adalah seorang yang identik dengan cantik, anggun, menarik, dan menjadi primadona semua kalangan. Begitulah kami mengibaratkan Pantai Klayar ini.....

Terletak di Desa Kalak, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur.

Pagi itu masih sunyi, jam di tanganku menunjukkan pukul 2.30 tepat. Mulai kami susuri jalanan sepi kota Jogja, membelah malam. Hanya satu dua kendaraan yang berpapasan dengan kami, hingga kami bisa leluasa di jalanan, seolah waktu itu jalanan milik kami sendiri.

Kami di sini adalah dua orang yang sama - sama gila blusukan, tak peduli jauh atau dekat, malam atau pun siang, panas maupun hujan, kami tetap berangkat. Kali ini target kami jelas, mencapai Klayar sebelum mentari nongol di timur sana.

Untuk rute berangkat, kami memilih via Wonosari-Bedoyo-Pracimantoro-Pasar Kalak-Klayar, setelah kami hitung sekitar 106 kilometer dari rumah. Selama 3 jam 10 menit kami tempuh perjalanan itu, dengan berhenti sebanyak 3 kali di Hargodumilah, Pracimantoro, dan sebelum memasuki Desa Kalak.

Akhirnya pukul 05.40 kami sampai di pinggir Pantai Klayar, langsung di suguhi pemandangan yang sungguh menakjubkan, walaupun akhirnya kami sadar tidak mungkin mendapat sunrise karena tertutup mendung.

Selama 3 jam kami habiskan waktu bermain dan mengabadikan keindahan alam di Klayar, dan inilah sebagian dokumentasi nya....

Selamat menikmati.....

Biar foto yang bicara..!!!



Pemandangan kota jogja dari Hargo Dumilah, sekitar jam 3 dinihari
  



    



Menikmati Seruling Samudera


In Action bersandar di batuan karst Klayar




Menikmati pemandangan Klayar

Coro Mlumpat





Pelangi, padahal tidak ada hujan...

Setelah menikmati keindahan Klayar selama 3 jam, kami memutuskan untuk beranjak pulang. Rute pulang yang kami pilih sedikit berbeda, via Klayar - Pasar Kalak - Sadeng - Tepus - Baron - Playen - Gading - Patuk - Jogja, dengan jarak tempuh lebih panjang, sekitar 130 kilometer. Sempat kami mampir di Sadeng dan Wediombo. Berikut dokumentasinya....


Mampir Sebentar ke Pantai Wediombo



Pantai Pelabuhan Ikan Sadeng




Akhirnya, tepat 12 jam sejak kami meninggalkan rumah, kami kembali menjejakkan kaki di rumah. Dengan sejuta memori indah tentang Klayar, Ratunya Pantai Selatan Pulau Jawa.....

Sekian...

Salam...

Selasa, 15 Mei 2012

Melihat Kelabu



dari jendela itu
aku melihat awan
kelabu, mungkin hujan segera turun

dari jendela itu
aku melihat bangunan tua
kelabu, gagah menantang langit

dari jendela itu
aku melihat dinding pembatas laut
kelabu, sedikit keropos akibat hantaman badai

dari jendela itu
aku melihat tembok yang lusuh
kelabu, telah pudar cat nya tergerus angin laut

dari jendela itu
aku melihat sampah berserakan
kelabu, rasanya memilukan melihat ketidak beraturan

dari jendela itu
aku melihat masa depan
kelabu, tertutup kelambu kuasa-Nya

dari jendela tua yang ada di depanku
aku dapat melihat segala
dari jendela tua di depanku
terhampar berjuta peristiwa
yang penuh akan perlajaran berharga




TP GFPPEP
15 mei 2012 ; 12.20

Minggu, 06 Mei 2012

Genap Setahun Sudah




Genap setahun sudah
merantau di ibu kota
melewati hari – hari penuh drama
merasakan hidup dalam realita
realita seorang perantau Jakarta

Genap setahun sudah ku hirup udara ibu kota
debu, asap knalpot, dan bau tentunya
tapi, tak apalah juga
demi satu periuk nasi untuk hari tua

Genap satu tahun sudah aku tidur di ibu kota
malam yang gemerlap
seolah kota yang tak pernah terlelap
walaupun suasana sudah gelap

Jakarta, ibu kota tercinta
Jakarta..oh Jakarta...




L25
16 April 2012 ; 19.45

Liburan Selezat Coklat




Banyak warna tergoreskan di liburan ini
biru, putih, kelabu, kuning, merah, jingga, bahkan pink
semuanya mengalun merdu dalam sebuah simfoni
menyandarkanku pada waktu tertentu

waktu yang teramat singkat
sekedar berkunjung dan beristirahat
tapi aku menikmatinya
selezat coklat

liburan ini
begitu berkesan untukku
satu tahapan lagi sudah ku jejaki
namun aku tak akan berhenti berlalu

sampai jumpa lagi, kawan



Senja Jogja Bis-5/15a
8 April 2012 ; 20.23

Jogan









Debummmm.....

gelegar suara ombak menumbuk karang nan gagah menjulang
kegaduhan pun memecah kesunyian
sedikit  horor, barangkali

Pagi agak siang di pinggir pantai selatan
Kecamatan Tepus, Desa Purwodadi

Biru air dan hijaunya pegunungan
menemani masa pencarianku di sini
Jauh di timur kota Jogja
hampir seratus kilo jauhnya, barangkali

Menengadah ke langit luas
awan menggantung kelabu
tanda mungkin hari ini hujan akan turun

Jogan, namanya
aku lebih suka menyebutnya hidden paradise
tak hentinya aku terkagum akan pesonanya
namun sayang, mendung yang kelabu mungkin
membuatku menyudahi pencarianku di sini

sampai jumpa...
sejuta pesona nan cantik jelita....




Jogan, tepus, GK
8 April 2012 ; 9.19