Malam yang indah, aku
duduk di balkon atas L25, seperti biasa. Di atas sana, bintang – bintang
bertaburan, menghiasi indahnya malam. Terpesona ku pada satu bintang yang berpijar, indah
sekali. Membawa lamunanku melayang, membayangkan peristiwa yang telah lama
terjadi....
1930....
Seorang remaja muda
usia, berkulit sawo matang, kurus, berwajah jawa, mendarat dengan mulus di
tempat yang baru. Tempat yang baru pertama kali dia jejaki. Tempat yang
notabene adalah negeri asal orang – orang yang menjajah Tanah Airnya. Kenapa
bisa dia di sana?? Siapa gerangan pemuda itu??
Dorodjatun namanya, 18
tahun. Dia dikirim ayahnya untuk belajar hingga ke negeri Belanda, untuk
mempelajari sains dan ilmu Barat yang telah terkenal keunggulannya. Namun dia
tidak sendirian, karena memang sudah terkenal banyak orang – orang yang
sebangsa dengan dirinya menuntut ilmu hingga ke negeri itu.
Dorodjatun, atau
dikenal juga dengan panggilan Henkie, lahir di Yogyakarta pada tanggal 12 April
1912. Sejak kecil telah ditanamkan padanya bahwa pendidikan itu penting untuk
masa depannya. Sejak kecil, ia telah dibiasakan untuk hidup mandiri. Bahkan
pada usia 4 tahun, ia telah dititipkan oleh keluarganya kepada keluarga
Belanda, pada keluarga Mulder. Ya, pada usia taman kanak – kanak, Dorodjatun
telah hidup in de kost.
Pendidikan dasarnya
ditempuh di sekolah Belanda Eerste Europese Lagere School. Dorodjatun adalah
anak yang aktif, bahkan mungkin hiperaktif. Di sekolah, dia sering di strap¸ karena ketahuan berkelahi. Namun,
bukan itu yang membuat Dorodjatun menonjol. Yang membuatnya lain dari pada yang
lain adalah aktifitasnya diberbagai macam kegiatan. Mulai dari Gerakan
Kepanduan Nederlandse Indische Padvinders Club dengan berbagai kegiatannya
seperti memasak dan berkemah, hingga bermain sepak bola. Dia menyelesaikan
pendidikan dasarnya pada usia 13 tahun, untuk kemudian lanjutkan pelajarannya
di Hogere Burgers School (HBS) di Semarang dan hidup menumpang pada keluarga
Voskuil. Karena satu dan lain hal, akhirnya Dorodjatun dipindahkan ke HBS di
Bandung dan in de kost di rumah
keluarga De Boer. Dari Bandung inilah ia dikirim untuk menyelesaikan sekolah
HBS nya ke HBS Harleem, Belanda.
Usia 18 tahun dan sudah
melanglang buana ke negeri Belanda bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat
biasanya orang Indonesia yang belajar ke
Belanda adalah tamatan dari HBS, atau calon Mahasiswa. Tetapi, tempaan
pendidikan keluarga yang keras dan pengalamannya menjadi pandu membuat hari –
hari Dorodjatun tetap berjalan mulus. Hingga akhirnya pada usia 22 tahun ia
menamatkan HBS dan melanjutkan studinya di Rijksuniversiteit, Leiden, dengan
mengambil jurusan ilmu hukum dan ekonomi di Fakultas Indologi.
Di bangku kuliah ini, kegiatan
Dorodjatun semakin menumpuk, membuat dia menjadi mahasiswa aktivis. Segala bentuk
kegiatan positif ia ikuti. Mulai dari Leidse Studenten Corps, Verenigde Faculteiten,
Perkumpulan Minerva, hingga klub diskusi di bawah pimpinan Profesor Schrieke.
Hari – hari Dorodjatun
adalah hari yang sangat sibuk, dan sangat padat. Berbagai kegiatan yang ia
ikuti membuat ia semakin mengenal negeri penjajahnya. Dengan kecerdasannya ia
mulai bisa merasakan dan memperbandingkan suasana serta kebijakan yang
diterapkan oleh Kerajaan Belanda di negaranya sendiri dan di negara jajahan. Kelak,
bekal itulah yang ia jadikan pijakan untuk berjuang di negeri asalnya. Berbekal
pengetahuan mengenai penerapan kebijakan negara dan penerapan demokrasi yang
dilakukan di negeri itulah, Dorodjatun akan membangun Tanah Airnya.
Pada tahun 1925
Dorodjatun berhasil menyelesaikan studinya dan meraih ijazah candidaat Indologi. Setelah itu,
Dorodjatun melanjutkan studinya untuk
meraih gelar doktor di jurusan ilmu ekonomi. Namun, ternyata takdir berkata
lain. Dorodjatun yang sudah sampai tahap menyusun disertasi harus menghadapi
kenyataan lain. Saat itu tahun 1939, Perang Dunia II sudah mulai terasa
efeknya, dengan serangan tentara Nazi pimpinan Adolf Hitler ke Polandia.
Dalam keadaan seperti
itu, Dorodjatun mendapat “panggilan” pulang dari ayahnya, yang mulai sakit –
sakitan. Tanpa pikir panjang, Dorodjatun memutuskan untuk pulang di bulan itu
juga menumpang Kapal Dempo menuju Tanah Air. Setelah menempuh perjalanan
beberapa minggu, tibalah Dorodjatun di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia
(Jakarta sekarang- red). Sebuah suasana yang mengharukan karena ternyata
Dorodjatun disambut langsung oleh ayah dan saudara – saudaranya. Ia kemudian
dibawa ke Hotel des Indes dan selama tiga hari menumpahkan segala rasa rindu
bersama ayah dan saudara – saudaranya. Saat bersama di hotel itulah, Dorodjatun
mengetahui bahwa ayahnya menderita sakit diabetes.
Akhirnya, Dorodjatun
dan keluarganya memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta menggunakan kereta api
dari Batavia. Namun, sakit yang diderita ayahnya dan fasilitas kesehatan di
dalam kereta yang kurang memadai membuat kondisi sang ayah semakin memburuk.
Sehari setelah sampai di Yogyakarta, sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya,
dan seisi Yogyakarta pun berduka.
Seisi Yogyakarta????
Ya, ayah Dorodjatun adalah seorang yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII, raja dari Kasultanan Yogyakarta. Wafatnya Sultan menimbulkan kesedihan
yang mendalam bagi seluruh rakyat, khususnya Dorodjatun. Masih teringat jelas
dalam memorinya, tatkala ia bertatap empat mata dengan sang ayah di salah satu
kamar di Hotel des Indes, dia menerima keris “Kyai Jaka Piturun” dari sang
ayah. Rupanya inilah maksud dari telegram yang dikirimkan ayahnya tatkala
dirinya masih berguru di negeri Belanda. Dengan diserahkannya keris pusaka itu,
maka jelaslah maksud hati sang ayah, untuk menjadikan anaknya, Dorodjatun,
sebagai putra mahkota.
Namun, proses
pergantian kepemimpinan di Kasultanan Yogyakarta ternyata tidak semudah itu.
Ada sebuah peraturan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menyebutkan bahwa
setiap ada pergantian Raja harus disertai perubahan kontrak antara Pemerintah
Hindia Belanda dengan Kasultanan Yogyakarta. Kontrak inilah yang menjadi
pengganjal. Tercatat, selama 5 bulan,
dari awal November 1939 hingga Februari 1940, perundingan antara Gubernur Adam
dengan Dorodjatun selalu menemui jalan buntu.
Perbedaan yang sangat
kuat antara keduanya adalah mengenai jabatan patih, dewan penasihat, dan
prajurit. Belanda menginginkan seorang patih adalah seorang pegawai
Pemerintahan dan pegawai Kasultanan, sehingga mengemban dua loyalitas.
Sedangkan Dorodjatun menginginkan patih hanyalah seorang pegawai Kasultanan,
tidak lebih. Untuk dewan penasihat, Belanda menginginkan anggota dewan
penasihat setengahnya ditunjuk oleh pemerintah dan setengahnya lagi ditunjuk
oleh Sultan dengan persetujuan Belanda. Dorodjatun menolak dengan tegas hal itu
dan bersikukuh menginginkan separuh anggota dewan penasihat adalah pilihannya
sendiri tanpa campur tangan Belanda. Sedangkan untuk prajurit, Belanda
menginginkan prajurit keraton adalah bagian dari tentara Hindia Belanda di
bawah komando KNIL, sehingga walaupun Kasultanan menggaji mereka, tapi tidak
berhak mengatur mereka. Hal yang ketiga ini jelas – jelas ditentang oleh
Dorodjatun.
Lima bulan sudah
kondisi deadlock itu, tak ada satupun kata yang seiya antara
kedua kubu. Hingga pada suatu saat, akhir Februari 1940, jelang maghrib. Ketika
itu Dorodjatun hanya rebahan, tanpa
bisa memejamkan mata, terdengarlah olehnya sebuah suara, “Tole, tekena wae. Landa bakal lunga saka bumi kene”.
Dalam bahasa indonesia bisa diartikan seperti ini, “Nak, sudah tanda tangani saja.
Belanda akan pergi dari tempat ini”. Sontak suara itu membangunkan istirahat
Dorodjatun. Entah dari mana datangnya, semakin malam suara itu semakin mantap
menghujam di lubuk keyakinannya.
Perundingan yang
dilanjutkan pada malam hari itu tidak seperti yang lalu, hanya berlangsung
sekejap, 15 menit, tanpa adu argumen yang alot. Dorodjatun hanya berujar kepada
Gubernur Adam untuk menyusun kesepakatannya dan dia akan menanda tanganinya.
Gubernur Adam kaget dan bingung bukan kepalang, orang yang selama lima bulan
terakhir membuatnya pusing tujuh keliling tiba – tiba mengatakan suatu hal yang
diluar dugaan, berkebalikan 180 derajat dengan sebelumnya.
Sesuai dengan pepatah sabdha pandhita ratu, sepisan muni tan keno
wola wali, Dorodjatun tidak akan mengubah pendirian dan perkataanya.
Dorodjatun menanda tangani kontrak perjanjian itu tanpa membaca terlebih
dahulu, pada tanggal 12 Maret 1940. Dan pada tanggal 18 Maret 1940, di usia yang
belum genap 28 tahun ( 28 tahun kurang 25 hari) Dorodjatun dinobatkan sebagai
Sultan , dengan gelar NGARSO
DALEM SAMPEYAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO, SENOPATI
ING NGALOGO NGABDURRAKHMAN SAYIDIN PANOTOGOMO, KALIFATULLAH INGKANG JUMENENG
KAPING IX ing NGAYOGYAKARTO HADININGRAT. Upacara penobatannya sendiri diadakan pada
tanggal 8 Mei 1940.
Pada upacara tersebut,
Sultan mengumandangkan sebuah kalimat yang sangat menggegerkan Belanda dan
rakyat. Beginilah kalimatnya, “Saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas dipundak saya adalah sulit dan berat,
lebih – lebih karena perlu menyandingkan semangat Barat dengan semangat Timur
agar dapat bekerja sama secara harmonis, tanpa menghilangkan karakter Timur.
Sungguhpun saya sudah mengenyam pendidikan Barat, saya adalah dan tetap orang
Jawa. Dengan demikian, selama tidak menghambat kemajuan, adat akan tetap
menempati posisi utama dalam kehidupan keraton yang kaya dengan tradisi.”
Kalimat itu bak petir
di siang bolong bagi Pemerintah Hindia Belanda, karena angan – angan untuk
menjadikan Sultan sebagai “boneka” mereka dengan kontrak perjanjian yang telah
ditanda tanganinya akan mendapatkan tantangan bak karang yang keras. Sedang
bagi rakyat, kalimat itu mendatangkan perasaan ayem karena raja baru mereka tetap menjunjung tinggi tradisi dan
adat Timur, walaupun telah mengenyam pendidikan di dunia Barat.
Dua hari sesudah acara
tersebut, bisikan gaib yang didengar Dorodjatun ketika itu, benar – benar
menjadi kenyataan. Belanda lari tunggang langgang meninggalkan Yogyakarta,
setelah Jepang menduduki wilayahnya.
*)referensi : Sepanjang
Hayat Bersama Rakyat, 2012, Kompas.
Jogja emang jogja.. jogja yang ngangenin. baca ini jadi kangen jogja.
BalasHapusmerinding bacanya
BalasHapus